Rabu, 26 April 2017

Mengenang Perjalanan Hidup Penyair Ar-Rumi

Judul Buku : Akulah Angin Engkaulah Api
Penulis : Annemarie Schimmel
Penerjemah : Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Cetakan : Pertama, Oktober 2016
Tebal : 272 Halaman
ISBN : 978-979-433-986-2

Buku ini menceritakan tentang penyair dari arab Jalaluddin Ar-Rumi memiliki puisi yang menilai diksi yang lembut dan sederhana. Tanpa judul dan titimangsa dalam membuat puisi mampu diksi menekankan pada filosofi kepada pembaca. Penyair-penyair di Indonesia tentu memiliki penafsiran dan pemaknaan yang berbeda dalam sebuah cipta puisi. Tulisan ini lebih kompleks antara puisi dengan gaya penafsiran yang tepat dan pemaparan sangat bagus. Tulisan diambil dari terjemahkan dalam buku I Am, You Are Fire : The Life and Work of Rumi sengaja menerjemahkan buku yang ditulis oleh Annemarie Schimmel. Pengarang ini lebih suka ke ekstensif islam dan menggali informasi tentang peradaban Islam.
            Dari tebal halaman ini serasa mewakili tulisan begitu peka dan padat terhadap puisi dan cerita perjalanan Ar-Rumi. Salah satu puisi ini diambil dari buku kumpulan puisi karya Ar-Rumi lalu menemukan filosofi yang cocok untuk penyuka sejarawan sastra dan antropologi budaya.
            Perjalanan ini pada masa itu, orang biasanya menempuh jarak dua ratus enam puluh kilometer dari Ankara ke Konya dengan bus. Jalan menuju ke Konya melewati tanah-tanah berbukit, dimana rumah-rumah yang ada hampir tidak dapat dibedakan dengan tanah-tanahnya. Pada musim semi, kita dapat melihat domba-domba memakan rumput segar di padang, bagaikan untaian bunga-bunga keciil berwarna putih.
            Di sebelah kanan jalan itu ada sebuah penginapan, Horozlu Han, yang seolah-olah menantikan kehadiran tamu. Sebagian dari bangunannya telah hancur, walaupun demikian masih tetap memperlihatkan struktur pokok rumah-rumah penginapan yang dibangun di Anatolia tengah selama pemerintahan Saljuk; di sini ada kamar-kamar tamu, tempat kuda, juga tempat kopor, serta musala kecil. Pada musim dingin, ketika salju menutupi padang-padang, mungkin sekali orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan terpaksa menginap di penginapan-penginapan tersebut selama berhari-hari. Dan Rumi dengan tepat membandingkan dunia materi dengan penginapan semacam itu, di mana jiwa-jiwa merindukan hari-hari yang hangat pada musim semi, ketika salju mencair, dan matahari akan segera mencairkan bongkahan-bongkahan es, yang selanjutnya es-es itu akan pecah dan meleleh menjadi air yang mengalir dan memberikan kehidupan, dan kafilah dapat melanjutkan perjalanannya ke rumah.
            Sebuah perkuburan kecil akan membawa kita ke akhir abad ke-13 hingga abad ke-14. Bagaimana perasaan jiwa untuk menghadapi suasana ketika ia harus berdiri di hadapan Hakim Teragung untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kelakuan, pemikiran, dan ucapan-ucapannya? Harapan untuk mendapatkan surga dan kedamaiannya, ketakutan terhadap hukuman telah menggerakkan orang-orang Mukmin ke arah ketatan. Walaupun demikian, para sufi lebih memahami perhatian utama orang beriman.
            Sebuah makam pekuburan menarik perhatian pengunjung karena tingginya; itulah makam Saljuk, yang kehadirannya menyampaiakan sesuatu mengenai kebudayaan pada masa Rumi. Di antara pengagum dan pencintanya, ada wanita kelas tinggi dan juga perempuan dengan profesi yang kurang hormat. Dan walaupun sang penyair kadang-kadang mengulangi komentar-komentar yang kurang—suatu citra yang mempunyai persamaan dengan dunia Kristani pada abad Pertengahan—dia sangat menyadari kebahagiaan hidup dalam perkawinan dan keindahan cinta manusia.
            Bangunan sederhana yang didirkan oleh Sultan Alauddin Kaikobad pada 1221 ini dapat menampung kita-kira empat ribu jamaah (Hal 13-17). Inilah cerita panjang tentang Ar-Rumi. Dari tulisan tersebut tentu mengenang kuburan Saljuk tempat kuburan Ar-Rumi berada. Dari kumpulan puisi masih utuh dan dikenang kembali untuk menghadapi peradaban di masa sekarang. Jadi barang peninggalan Ar-Rumi bisa ditemukan selama ribuan tahun silam. Intinya sejarah tak bisa melupakan sepanjang masa.


· Resensi ini pernah dimuat oleh Koran Jakarta edisi 19 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar