Judul Buku : Akulah Angin
Engkaulah Api
Penulis : Annemarie
Schimmel
Penerjemah : Alwiyah
Abdurrahman dan Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Cetakan : Pertama,
Oktober 2016
Tebal : 272 Halaman
ISBN : 978-979-433-986-2
Buku ini menceritakan
tentang penyair dari arab Jalaluddin Ar-Rumi memiliki puisi yang menilai diksi
yang lembut dan sederhana. Tanpa judul dan titimangsa dalam membuat puisi mampu
diksi menekankan pada filosofi kepada pembaca. Penyair-penyair di Indonesia
tentu memiliki penafsiran dan pemaknaan yang berbeda dalam sebuah cipta puisi.
Tulisan ini lebih kompleks antara puisi dengan gaya penafsiran yang tepat dan
pemaparan sangat bagus. Tulisan diambil dari terjemahkan dalam buku I Am, You Are Fire : The Life and Work of
Rumi sengaja menerjemahkan buku yang ditulis oleh Annemarie Schimmel.
Pengarang ini lebih suka ke ekstensif islam dan menggali informasi tentang
peradaban Islam.
Dari tebal halaman ini serasa mewakili tulisan begitu
peka dan padat terhadap puisi dan cerita perjalanan Ar-Rumi. Salah satu puisi
ini diambil dari buku kumpulan puisi karya Ar-Rumi lalu menemukan filosofi yang
cocok untuk penyuka sejarawan sastra dan antropologi budaya.
Perjalanan ini pada masa itu, orang biasanya menempuh
jarak dua ratus enam puluh kilometer dari Ankara ke Konya dengan bus. Jalan
menuju ke Konya melewati tanah-tanah berbukit, dimana rumah-rumah yang ada
hampir tidak dapat dibedakan dengan tanah-tanahnya. Pada musim semi, kita dapat
melihat domba-domba memakan rumput segar di padang, bagaikan untaian
bunga-bunga keciil berwarna putih.
Di sebelah kanan jalan itu ada sebuah penginapan, Horozlu
Han, yang seolah-olah menantikan kehadiran tamu. Sebagian dari bangunannya
telah hancur, walaupun demikian masih tetap memperlihatkan struktur pokok
rumah-rumah penginapan yang dibangun di Anatolia tengah selama pemerintahan
Saljuk; di sini ada kamar-kamar tamu, tempat kuda, juga tempat kopor, serta
musala kecil. Pada musim dingin, ketika salju menutupi padang-padang, mungkin
sekali orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan terpaksa menginap di
penginapan-penginapan tersebut selama berhari-hari. Dan Rumi dengan tepat
membandingkan dunia materi dengan penginapan semacam itu, di mana jiwa-jiwa
merindukan hari-hari yang hangat pada musim semi, ketika salju mencair, dan
matahari akan segera mencairkan bongkahan-bongkahan es, yang selanjutnya es-es
itu akan pecah dan meleleh menjadi air yang mengalir dan memberikan kehidupan,
dan kafilah dapat melanjutkan perjalanannya ke rumah.
Sebuah perkuburan kecil akan membawa kita ke akhir abad
ke-13 hingga abad ke-14. Bagaimana perasaan jiwa untuk menghadapi suasana
ketika ia harus berdiri di hadapan Hakim Teragung untuk memberikan
pertanggungjawaban mengenai kelakuan, pemikiran, dan ucapan-ucapannya? Harapan
untuk mendapatkan surga dan kedamaiannya, ketakutan terhadap hukuman telah
menggerakkan orang-orang Mukmin ke arah ketatan. Walaupun demikian, para sufi
lebih memahami perhatian utama orang beriman.
Sebuah makam pekuburan menarik perhatian pengunjung
karena tingginya; itulah makam Saljuk, yang kehadirannya menyampaiakan sesuatu
mengenai kebudayaan pada masa Rumi. Di antara pengagum dan pencintanya, ada
wanita kelas tinggi dan juga perempuan dengan profesi yang kurang hormat. Dan
walaupun sang penyair kadang-kadang mengulangi komentar-komentar yang
kurang—suatu citra yang mempunyai persamaan dengan dunia Kristani pada abad
Pertengahan—dia sangat menyadari kebahagiaan hidup dalam perkawinan dan
keindahan cinta manusia.
Bangunan sederhana yang didirkan oleh Sultan Alauddin
Kaikobad pada 1221 ini dapat menampung kita-kira empat ribu jamaah (Hal 13-17).
Inilah cerita panjang tentang Ar-Rumi. Dari tulisan tersebut tentu mengenang
kuburan Saljuk tempat kuburan Ar-Rumi berada. Dari kumpulan puisi masih utuh
dan dikenang kembali untuk menghadapi peradaban di masa sekarang. Jadi barang
peninggalan Ar-Rumi bisa ditemukan selama ribuan tahun silam. Intinya sejarah
tak bisa melupakan sepanjang masa.
· Resensi ini pernah dimuat
oleh Koran Jakarta edisi 19 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar