Rabu, 26 April 2017

Menjadi Manusia Sebagai Pembangun Akidah Akhlaq

Judul Buku : Love, Peace, and Respect
Penulis : Lalan Takhrudin
Penerbit : Mizania
Cetakan : Pertama, Januari 2016
Tebal : 320 Halaman
ISBN : 978-602-1337-86-8

Penerapan manusia perlu penting dalam menjalani aktivitas yang dibekali oleh emosi dan perbuatan. Salah satu kewajiban yang dilakukan oleh Allah SWT adalah rajin berilmu dan bekerja sungguh-sungguh demi mengapai hasil yang dicapai. Perlu tindak lanjut sebagai manusia yang bermutu dan berkualitas senantiasa punya impelentasi akhlaq baik dari segi akhlaq maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
            Buku ini berisi tentang seorang manusia perlu membangun akidah akhlaq sesuai nilai ajaran nilai dan rasul sebagai pedoman hidup. Mungkin isi buku ini tentu secara berimbang, lugas, dan penuh memberikan wawasan kepada pembaca. Artinya kumpulan artikel islami itu tentu sangat menangkap nilai dan sisi akhlaq daripada memiliki kehidupan yang begitu ketat.
            Terdapat banyak ringkasan melalui Al-Qur’an dan hadits tentang merangkai suatu akhlaq dan membangun karakter dalam perilaku dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik dari spiritual jiwa, menelaah bipolar, maupun kementalan jiwa terhadap gaya hidup Rasulullah SAW.
            Ketahuilah bahwa orang-orang  besar bila pernah bertemu seseorang, walaupun sudah berminggu-minggu, mereka masih ingat dengan baik siapa oran itu. Karena itu, belajarlah untuk mengingat orang-orang yang diperkenalkan kepada Anda. Sebab, dengan demikian sudah barang tentu Anda akan dapat memperluas khazanah sahabat-sahabat Anda. Jangan sekali-kali Anda melupakan atau berpura-pura lupa dengan nama orang lain. Jangan pula Anda memanggil nama orang dengan panggilan yang sangat tidak disukainya. Ikutilah selalu jejak Rasulullah Saw. Beliau tidak pernah memanggil para sahabatnya dengan panggilan yang tidak menyejukkan hatinya (Hal 33).
            Kita adalah manusia yang beradab. Karena itu, harus daapat bertimbang rasa terhadap sesama kita. Bertimbang rasa itu ternyata jauh lebih besar manfaatnya bagi kita daripada tidak bertimbang rasa. Tetapi, janganlah sekali-kali mengartikan bertimbang rasa ini dengan menganggap orang lain lebih rendah daripada kita, itu sikap yang tak selayaknya dimiliki oleh orang-orang yang beradab. Itu kesalahan besar yang banyak dilakukan irang, misalnya, suka menertawakan pendapat orang lain setelah orangnya berlalu dari hadapannya. Padahal, keyakinan orang lain, baik tentang agama, politik, sikap, dan pandangan hidupnya, atau di bidang apa saja, jangan diejek, dilecehkan, dan dhina, melainkan harus dihormati. Kita harus dapat memberi tempar untuk pendapat dan keyakinan orang lain (Hal 47).
            Tata pergaulan adalah aturan-aturan yang harus kita jalankan ketika bergaul dengan orang lain. Untuk itu ada aturan-aturan yang manjur dari Rasulullah Saw. Aturan-aturan ini harus kita taati jika ingin diterima dan disenangi oleh orang-orang yang bergaul dengan kita.
            Aturan-aturan apakah yang diberikan Rasulullah Saw. Itu? Kalaulah rajin menelusuri jejak beliau melalui catatan sejarah, Anda akan menemukan bahwa dengan bergaul dengan para sahabat dan orang banyak, beliau sangat memperhatikan apa yang disebut dengan “tata krama”.
            Karena itu, berhati-hatilah kita membawa diri. Lebih baik kita bersikap merendah atau mengalah untuk kemenangan, daripada ngotot inging selalu menang, tetapi yang didapati hanyalah kerugian dari kebencian orang. Marilah kita latih diri kita untuk dapaat berlapang, dada, berjiwa besar dalam menghadapi orang-orang, sebab, “Tiada seorang mukmin melihat sesuatu yang memalukan saudaranya, kemudian ia menutupinya, melainkan ia akan masuk surga!” Demikian sabda Rasulullah Saw. Dalam hadis riwayat Abu Daud.
            Itulah beberapa ringkasan tentang akidah akhlaq dalam membangun jiwa manusia yang mandiri dan beradab. Perlu digarisbawahi seorang muslim tentu menerapkan Al-Qur’an dan Hadits terhadap membangun karakter baik dari ibadah, menghormati orang tua, menjaga lisan, maupun menambah keimanan terhadap Allah SWT.

Upaya Manusia Ingin Mencari Tuhan Yang Sesungguhnya

Judul Buku : Penjara-Penjara Kehidupan
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, Maret 2016
Tebal : xiv + 282 Halaman
ISBN : 978-602-385-067-9
Buku Penjara-Penjara Kehidupan mengangkat tema yang mengusung kehidupan yang lebih keras dan sulit diterima. Isi buku cukup mendetail tentang keberadaan tuhan yang mencakup nilai sosial dan aspek ketuhanan terhadap penerapan kehidupan sehari-hari. Saat ini negara kita terkena perang saudara antar dua kota disebabkan oleh merebut kekuasaan dan berambil alih suasana di sana. Tidak ada satu pun yang berani menghianati kota yang berlandasan Islam.
            Selain itu ada beberapa artikel yang menyangkut manusia dalam pencarian kepada tuhan untuk menerapkan kehidupan beragama bukan aturan umum. Oleh sebab itu artikel islam ini bisa jadi menumbuhkan hidayah di balik realita hingga berakhir di liang lahat.
            Mengingat Tuhan Maha gaib dan absolut, nalar manusia tidak sampai untuk mengenal dan mengetahui-Nya sebagaimana kita mengenal dan mengetahui manusia atau objek alam. Manusia, dengan bantuan nalar dan kitab suci, mencoba mengenal dan mendekati Tuhan dengan memberikan atribus dan definis, mislanya Tuhan itu diyakini sebagai wujud yang absolut (Absolut Being), yang dari-Nya muncul entitas lain (contingent beings). Semua wujud yang ada ini muncul dari-Nya. Dia itu Sang Pencipta dan Esa, pengatur jagad semesta, berada di luar ruang dan waktu, karena Dia pencipta ruang dan waktu. Hakikat dan Zat Tuhan yang Mahamutlak dan absolut itu tidak mungkin diketahui oleh nalar manusia yang relatif dan sangat terbatas (Hal 29).
            Demikianlah, Tuhan diyakini kehadiran-Nya oleh manusia sepanjang sejara, namun sekaligus menjadi objek diskusi dan perdebaran karena manusia tidak bisa melakukan klarifikasi dan verifikasi sebagaimana dilakukan dalam kajian ilmiah.
            Sepanjang sejarah, manusia tak pernah berhenti mencari Tuhan dengan berbagai cara dan jalan. Apa yang disebut agama sesungguhnya adalah jalan untuk mengenal dan mendekat pada Tuhan. Ada agama yang diyakini datang dari Tuhan yang disampaikan melalui rasul-nya, ada pula agama produk pemikiran kontemplatif manusia. Berbagai ragam agama itu masing-masing memiliki karakter dan doktrin yang berbeda-beda, sehingga di muka bumi ini terdapat pluralitas umat atau komunitas agama. Hubungan antar pemeluk agama pun bermacam-macam; ada yang rukun dan damai-damai saja, tetapi ada pula yang terlibat konflik dan perang sehingga meninggalkan trauma, luka, dan sakit hati yang diteruskan dari generasi ke generasi. Ada pula ajaran agama beserta pemeluknya yang sudah hilang masuk catatan sejarah.
            Dalam hal ini, berlaku teori darwinisme sosial historis, survival of the fittest. Hanya agama yang dianggap cocok dan mampu menghadapi kritik dan kebutuhan manusia, itulah yang akan bertahan, Karena itu, dalam tubuh internal agama pun terjadi berbagai pemikiran agar kontekstual dan fungsional bagi zamannya. Lebih dari itu, interaksi antara sesama pemeluk agama juga telah memungkinkan terjadinya penetrasi unsur-unsur pemahaman dan tradisi agama lain sehingga tradisi agama tidaklah statis.
            Di Indonesia, pertemuan, penetrasi, dan eklektisisme keagamaan sangat mudah diamati. Mengingat dari zaman dahulu wilayah Nusantara ini selalu menarik pendatang asing dengan berbagai pengaruh budaya dan agamanya, maka pemahaman dan tradisi berbagai agama saling mempengaruhi.
            Mengingat manusia adalah pencari tuhan, beragamjalan dan pengalaman yang didapatkan mereka ceritakan dan wariskan pada anak-cucunya.

            Tuhan itu dicari bukan semata untuk mengetahui dan mengenal-Nya dengan berbagai dalil dan argumen yang kita pelajari dan hafal, melainkan untuk mendapatkan pencerahan agar hidup kita berada di atas yang benarm baik, dan sebanyak mungkin memberi manfaat bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan, khusunya sesama manusia, apa pun asal suku, bahasa, budaya, dan agamanya (Hal 31-33). Jadi manusia dalam pencari tuhan adalah pendirian terhadap akhlaq dan ibadah pada Allah SWT.

Bulan Terbelah di Langit Surabaya

Judul Buku : Menjenguk Mantan
Penulis : Zayyin Achmad
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : 2017
Tebal : 170 Halaman

ISBN : 978-602-3092-45-1

Sepuluh November sampai sekarang ini masih dikenang oleh sejarah. Banyak korban pada peristiwa itu menimbulkan bekas serangan dari tentara Inggris dan betapa bangunan yang sudah runtuh dan masih dihuni walau sudah dimakan usia. Banyak jalan begitu berlubang dan warga tak bisa pergi sebelum kembali pada jalan seperti semula. Ada beberapa kejadian yang sekiranya masih dalam dunia sosial dan budaya. Bendera sudah merdeka walau kekerasan di jantung kota tetap ada hingga tak kunjung selesai.
            Melalui menjenguk kota Surabaya ini membuat waktu akan mengenap perjalanan selama tujuh puluh satu tahun yang tak pernah terlupakan. Surabaya sebagai kota pahlawan juga menyimpan diksi-diksi yang mengandung rindu dan menemukan bait perbait tentang kota Surabaya.
“Bunga tunjung itu sudah hampir mekar,Mbem / tapi negara ini sudah proklamasi pun / begitu merdeka / aku tak mau kelak anak cucu kita / juga tergesa-gesa mengartikan kata merdeka”
            Diksi ini mengingat ketika pejuang arek-arek Suroboyo merebut kekuasaan kota terhadap tentara inggris. Hal ini sangat ketat untuk diserang. Jendral Mallaby sudah menginjak tanah surabaya. Tetapi ia pasukan Inggris dan pejuang arek-arek Suroboyo siap serbu. Sayang tubuh luka tak menghalangi semangat pejuang. Ia tak mau hilangnya harta kekuasaan tersebut menentukan nasib di kota Surabaya.
            Ketika perang berlangsung bangunan dan tanah ini runtuh tanpa tersisa. Sebenarnya justru menimbulkan konflik besar terhadap sejarah. Pertempuran hebat meletus di Surabaya pada 31 Oktober 1945. Tentara Inggris di bawah Mayor Venugopali terkepung oleh barisan rakyat. Brigjen Mallaby datang dengan bendera putih bersama Kapten Smith, Kapten Shaw, dan Letnan Laughland untuk menengahi pertempuran. Mobil Mallaby dicegat pemuda bersenjata di tengah jalan. Mayor Venugopali tiba-tiba melempari granat untuk membebaskan Mallaby. Tembak-menembak meletus di kedua belah pihak dan Mallaby tewas terpanggang di dalam mobilnya. Panglima tentara sekutu memerintahkan Angkatan Darat, Laut dan Udara untuk bersiap-siap melancarkan operasi besar-besaran. Provokasi ini diimbangi dengan pidato-pidato Bung Tomo untuk menggelorakan semangat pemberontakan melawan tentara sekutu.
            Inilah suatu insiden merobekan bendera merah putih biru ini sudah menjadi kenangan daripada zaman sekarang dilenyap usia tanpa khawatir dengan waktu.
“Jadi jangan pernah kau anggap aku sebagai jalanmu / ramnai dan lenggang Yang hanya kau gunakan untuk mengantarmu ke tujuan // Kalau nanti badanku ini terterombos peluru musuh dan kakiku tak sanggup berdiri untuk mengecup keningmu”
            Jangan pernah mengabaikan tentang Mallaby. Sang pemimpin kejam ini telah berkuasa secara paksa. Sedangkan arek-arek Suroboyo sengaja mengeruhkan tenaga dan tekad untuk membendungi kota. Penjajah sekutu hampir memusnahkan peperangan karena ingin mengalahkan perjuangan di tengah kekuasaan dan beralih pada sistem pemerintahannya. Bukan seperti bambu runcing yang diincar adalah musuh bebuyutan. Oleh sebab itu peperangan pada zaman sepuluh november tersebut membuat air mata kota jauh lebih mengenang tokoh yang sudah wafat dalam usia tertentu.
            Tidak hanya zaman perang namun persebaya juga sebagai benteng pertahanan di jantung kota. Klub sepak bola dari Surabaya ini sudah menjadi tanda-tanda kekuasaan yang tak pernah lelah. Persebaya atau disapa dengan Green Force Alliance ini mampu memenangkan sebuah kompetisi sepak bola di penjuru Nusantara.
“Jika kau ingin api untuk bekalmu berjalan sepanjang hati maka larilah ke Surabaya / Dan jika rumahmu adalah Surabaya maka haram hukumnya kau gundah”
            Lihatlah jantung kota pahlawan yang baru-baru ini persebaya dikepung oleh PSSI. Hal ini membuat pendukung sangat khawatir dan ingin membalas dendam melalui spanduk, pamflet dan baliho tersebut. Hal ini Surabaya makin menangis atas perlakukan PSSI telah memberhentikan sementara Persebaya sebagai klub yang ingin merebutkan sepak bola nusantara. Persebaya tidak tenang namun dia membalas dendam yang membuat para masyarakat akan takut dan mengundang opini lebih kritis.
            Seupama Surabaya sudah tak bisa lagi sabar memulihkan pertandingan dan lembaga sepak bola tak mau mengalah terhadap situasi seperti ini. Oleh karena itu Surabaya sebagai kota yang sangat kritis dan berpuluh-puluh kejadian yang menyerang dengan sebuah emosi dan balas dendam terhadap orang lain. Jadi Surabaya akan terjadi bila peristiwa datang.

· Resensi pernah dimuat oleh Radar Sampit edisi 9 April 2017

Mengenang Perjalanan Hidup Penyair Ar-Rumi

Judul Buku : Akulah Angin Engkaulah Api
Penulis : Annemarie Schimmel
Penerjemah : Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Cetakan : Pertama, Oktober 2016
Tebal : 272 Halaman
ISBN : 978-979-433-986-2

Buku ini menceritakan tentang penyair dari arab Jalaluddin Ar-Rumi memiliki puisi yang menilai diksi yang lembut dan sederhana. Tanpa judul dan titimangsa dalam membuat puisi mampu diksi menekankan pada filosofi kepada pembaca. Penyair-penyair di Indonesia tentu memiliki penafsiran dan pemaknaan yang berbeda dalam sebuah cipta puisi. Tulisan ini lebih kompleks antara puisi dengan gaya penafsiran yang tepat dan pemaparan sangat bagus. Tulisan diambil dari terjemahkan dalam buku I Am, You Are Fire : The Life and Work of Rumi sengaja menerjemahkan buku yang ditulis oleh Annemarie Schimmel. Pengarang ini lebih suka ke ekstensif islam dan menggali informasi tentang peradaban Islam.
            Dari tebal halaman ini serasa mewakili tulisan begitu peka dan padat terhadap puisi dan cerita perjalanan Ar-Rumi. Salah satu puisi ini diambil dari buku kumpulan puisi karya Ar-Rumi lalu menemukan filosofi yang cocok untuk penyuka sejarawan sastra dan antropologi budaya.
            Perjalanan ini pada masa itu, orang biasanya menempuh jarak dua ratus enam puluh kilometer dari Ankara ke Konya dengan bus. Jalan menuju ke Konya melewati tanah-tanah berbukit, dimana rumah-rumah yang ada hampir tidak dapat dibedakan dengan tanah-tanahnya. Pada musim semi, kita dapat melihat domba-domba memakan rumput segar di padang, bagaikan untaian bunga-bunga keciil berwarna putih.
            Di sebelah kanan jalan itu ada sebuah penginapan, Horozlu Han, yang seolah-olah menantikan kehadiran tamu. Sebagian dari bangunannya telah hancur, walaupun demikian masih tetap memperlihatkan struktur pokok rumah-rumah penginapan yang dibangun di Anatolia tengah selama pemerintahan Saljuk; di sini ada kamar-kamar tamu, tempat kuda, juga tempat kopor, serta musala kecil. Pada musim dingin, ketika salju menutupi padang-padang, mungkin sekali orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan terpaksa menginap di penginapan-penginapan tersebut selama berhari-hari. Dan Rumi dengan tepat membandingkan dunia materi dengan penginapan semacam itu, di mana jiwa-jiwa merindukan hari-hari yang hangat pada musim semi, ketika salju mencair, dan matahari akan segera mencairkan bongkahan-bongkahan es, yang selanjutnya es-es itu akan pecah dan meleleh menjadi air yang mengalir dan memberikan kehidupan, dan kafilah dapat melanjutkan perjalanannya ke rumah.
            Sebuah perkuburan kecil akan membawa kita ke akhir abad ke-13 hingga abad ke-14. Bagaimana perasaan jiwa untuk menghadapi suasana ketika ia harus berdiri di hadapan Hakim Teragung untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kelakuan, pemikiran, dan ucapan-ucapannya? Harapan untuk mendapatkan surga dan kedamaiannya, ketakutan terhadap hukuman telah menggerakkan orang-orang Mukmin ke arah ketatan. Walaupun demikian, para sufi lebih memahami perhatian utama orang beriman.
            Sebuah makam pekuburan menarik perhatian pengunjung karena tingginya; itulah makam Saljuk, yang kehadirannya menyampaiakan sesuatu mengenai kebudayaan pada masa Rumi. Di antara pengagum dan pencintanya, ada wanita kelas tinggi dan juga perempuan dengan profesi yang kurang hormat. Dan walaupun sang penyair kadang-kadang mengulangi komentar-komentar yang kurang—suatu citra yang mempunyai persamaan dengan dunia Kristani pada abad Pertengahan—dia sangat menyadari kebahagiaan hidup dalam perkawinan dan keindahan cinta manusia.
            Bangunan sederhana yang didirkan oleh Sultan Alauddin Kaikobad pada 1221 ini dapat menampung kita-kira empat ribu jamaah (Hal 13-17). Inilah cerita panjang tentang Ar-Rumi. Dari tulisan tersebut tentu mengenang kuburan Saljuk tempat kuburan Ar-Rumi berada. Dari kumpulan puisi masih utuh dan dikenang kembali untuk menghadapi peradaban di masa sekarang. Jadi barang peninggalan Ar-Rumi bisa ditemukan selama ribuan tahun silam. Intinya sejarah tak bisa melupakan sepanjang masa.


· Resensi ini pernah dimuat oleh Koran Jakarta edisi 19 April 2017

Sastra Indonesia yang Mempengaruhi Nilai dan Identitas Sosial

Judul Buku : Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas
Penulis : Yusri Fajar
Penerbit : Basa Basi
Cetakan : I, April 2017
Tebal : 252 Halaman
ISBN : 978-602-61160-3-1

Sastra Indonesia tidak serupa dengan menilai karya yang ditulis oleh pengarang. Mungkin sejauh mungkin karya bisa menilai dari berbagai bidang dan perilaku. Budaya sastra sebagai tingkat estimasi dalam mengubah suatu imaginasi dalam karya tersebut dan mengolah kreatifitas terhadap seni sastra.
            Buku ini menjelaskan tentang penilaian dari setiap karya yang secara mengugah dan menggunakan metodologi dalam penciptaan karya oleh pengarang. Buku ini merupakan kumpulan esai yang memuat apresiasi karya terhadap pengarang. Selain itu buku ini direkomendasikan untuk para pengiat sastra, peneliti, antropologi budaya, dan para sastrawan.
            Identitas adalah entitas dinamis sebagai hasil dari negoisasi akar budaya lama dan sekarang, dari dialetika antar etnik, ras dan bangsa. Mercer, sebagaimana dikutip oleh Wedon, menyatakan bahwa identitas sering kiali menjadi isu krusial ketika sudah berada di ambang krisis, ketika identias yang diasumsikan pasti dan stabil yang digantikan oleh keraguan dan ketidakpastian (2004:1) Hal ini logis karena ketidakpastian (uncertainly) selalu membuat orang berusaha mencari identitas baru dan hidup dalam ketidakpastian tersebut. Dan ketidakpastian itu pada dasarnya disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk identias yang beragam dan tidak semata berasal dari satu aspek budaya, terutama di era pasca kolonial dan global di mana orang-orang berbeda ras dan etnik berhubungan.
             Konstruksi diri (the self) membutuhkan eksistensi ‘Sang Lain’ (the other). Secara kultural pembentukan identitas berkaitan dengan akar dan dinamika budaya; sedangkan secara instusional identias seringkali dikonstruksi atas formalisasi institusi tertentu seperti warga yabng memberikan atribut (identitas) penciri pada warga negaranya.
            Hubungan dua insan berbeda negara dan latar belakang budaya dengan sejarah masa lalu—yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena penjajahan—memunculkan persoalan superioritas dan inferioritas identitas dari dulu hingga sekarang menjadi ciri hubungan bangsa terjajah dan penjajah. Penjajah sering kali berupaya membentuk budaya dan identitas pribumi berdasarkan paradigm dan aspek budaya barat (Hal 53-55).
            Nilai sosial tidak lepas dari identitas tersebut akan tetapi penilaian karya juga berdasarkan struktur cerita yang bisa mengandung nilai sosial, budaya, dan moralitas tersebut. Identitas sastra sebagai persepsi tulisan yang mempunyai latar belakang dan sudut pandang pengarang.
            Mengenai masyarakat dengan pluraritas identitas dan etnisitas yang dinamis banyak direpresentasikan dalam karya sastra. Narasi ketegangan dan kedamaian diatikulasikan oleh para sastrawaqn sebagai hasil pengamatan terhadap konstelasi dan dinamika manusia yang dipenuhi perpecahan disatu sisi, dan kebersamaan serta kerukunan di sisi lainnya. Konflik berlatar perbedaan etnik, agama dan aliran kepercayaan, stratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi yang menginspirasi dan menjadi pilihan tematik beberapa sastrawan menunjukkan kritik para sastrawan terhadap ketidakmampuan menerima perbedaan. Sementara, kerukunan ditengah perbedaan dikisahkan sastrawan untuk merepresentasiakn harmoni sebagai dampak toleransi dan negoisas antarbudaya yang bisa dengan baik dilakukan.pada konteks ini karya-karya sastra menjadi medium menyuarakan dan mengingatkan kebhinekaan, menyemaikan arti toleransi, dan menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran serta sikap kritis sastrawan dengan publik.
            Berbagai alasan dalam mengangkat lanskap kontestasi perbedaan dan relasi mutual antarindivindu dan kelompoik masyarakat dalam karya sastra bisa didorong berbagai alasan, seperti ketertarikan atas peristiwa itu, upaya membangun kepedulian, motivasi memberikan pencerahan, kepentingan dokumentasi tekstual, hingga dorongan mendiseminasikan situasi sosio-kultural Indonesia ke pembaca lokal, nasional, dan internasional (Hal 91-93).

            Hikmah yang diambil adalah karya sastra sebagai pengukur karya terhadap kandungan sosial, budaya, dan moral.